30 Tahun SMA Kami, SMA Penuh Dengan SARA

Sejak kecil, saya hidup di lingkungan yang homogen. Suku Sunda dan beragama Islam. Sangat homogen. Bahasa sehari-hari adalah bahasa Sunda. Plus bahasa Indonesia ketika mulai bersekolah. Hanya ada satu dua orang yang berbeda dari kami, kemudian. Orang Jawa yang berhasil menyunting gadis desaku, atau Orang Bali yang bekerja di instansi negara. Saya bergaul dengan anak-anak mereka di kampung. Sudah itu saja. Tak ada lagi yang berbeda.

Di sekolah, saya sering membaca buku tentang Indonesia yang penduduknya beragam. Jumlah suku bangsanya ratusan, bahasanya juga ratusan, dan agamanya ada lima. Tapi hanya di buku. Pada kehidupan sehari-hari, fakta di buku itu tak pernah kutemukan.

Sungguh terkaget-kaget luar biasa, ketika pada tahun 1990, saya membuktikan dengan mata dan kepala serta seluruh panca indera makna lagu Rhoma Irama.

“Seratus tiga puluh lima juta penduduk Indonesia. Terdiri dari banyak suku-bangsa, itulah Indonesia. Ada Sunda, ada Jawa,  Aceh, Padang, Batak, dan banyak lainnya…”

Saya bertemu, kemudian bersahabat, dan bahkan menjadi saudara saya sampai saat ini, semua suku bangsa yang disebut bang Rhoma itu. Dari 27 provinsi.

Seumur-umur baru kali itulah saya berjumpa saudara tercinta orang Papua, orang Minahasa, orang Manado, orang Ambon, orang Bima, orang Timor, orang Dayak, orang Kerinci, Banjar, dan lainnya. Bahkan waktu itu, saya masih bersahabat dengan orang Timor Timur. Persahabatan dan persaudaraan yang masih kami jaga sampai sekarang, meski batas negara memisahkan kemudian.

Saya juga baru berjumpa dengan orang Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha.

Saya berinteraksi secara langsung dengan mereka. Sekamar dan satu tempat tidur dengan mereka. Mulai memahami perbedaan kami. Mulai menyadari secara nyata apa arti Bhineka Tunggal Ika. Moto bangsa kita yang selalu saya lihat terpampang di kaki lambang negara Burung Garuda. Terjadi gelegar budaya di dalam diri saya. Gelegar yang kemudian begitu saya syukuri. Saya termasuk segelintir anak bangsa yang sangat beruntung bisa hidup bersama ratusan remaja seumuran dari seluruh Indonesia. Begitu berwarna. Seperti pelangi. Latar belakang berbeda, meski rata-rata sama dari keluarga tak berada. Remaja dari pinggiran dan pelosok negeri.

Dari situlah mulai timbul kesadaran, betapa indahnya perbedaan, betapa indahnya warna-warni, betapa indahnya pelangi. Kehilangan satu warna saja, pasti tak lagi jadi pelangi. Tak betapa indah lagi… Tiga tahun bersama mereka, bersama para pamong, dan pengelola, membentuk cara pikir dan cara pandang yang sungguh berbeda dibanding sebelumnya. Wawasan kebangsaan, wawasan kejuangan, dan wawasan kebudayaan, melekat dalam jiwa.

Tiga puluh tahun sudah berlalu. 14 Juli 1990, Panglima ABRI Try Sutrino memberikan sambutan, dan Menhankam Benny Moerdani menandatangani prasasti. Memori itu begitu melekat. Ucapan terima kasih tak pernah cukup untuk mereka, para pendiri. Karena mereka, kini saya punya saudara tak sedarah, namun sebangsa dan setanah air, dari seluruh pelosok negeri. Bukan hanya dua ratusan remaja seangkatan, namun juga ribuan alumnus SMA Taruna Nusantara. Ke manapun saya pergi, mereka selalu ada. Selalu bersedia.

SMA kami memang berbeda. Buat kami sangat istimewa. SMA kami penuh dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Jika sekarang masih banyak yang berteriak tentang perbedaan, tentang menghormati pihak lain, tentang kebhinekaan, kami sudah mempraktikkannya sejak remaja. Sudah tergenang dan mungkin mengendap dalam aliran darah. Kami bhineka, kami Pancasila. NKRI harga mati. Begitu kalimat-kalimat yang sering terdengar. Materi yang menyelusup setiap saat selama tiga tahun di sana…

Setelah 30 tahun, kami melangkahkan kaki di jalur berbeda-beda. Di semua bidang kehidupan, mulai dari TNI/Polri, ASN, birokrat, teknokrat, akademisi, politisi, pengusaha, pedagang, pegawai kantoran, dan sebagainya. Perbedaan yang makin memperindah pelangi kami. Karena berbeda itulah, kami ada di mana-mana. Tapi yakinlah, visi kami tetap sama. Seperti pelangi, kehadirannya memperindah angkasa. Begitu pula kami. Kami hadir untuk mewarnai negeri, dengan karya terbaik bagi bangsa, negara, dan dunia.

“Jika tak bisa jadi pohon besar, maka jadilah pohon kecil yang mampu mendukung dan menumbuhkan pohon besar.”

Prof. Dr. Tarwotjo, MSc.

Dirgahayu ke-30  SMA Taruna Nusantara

Penulis :

Dodi Mawardi, dkk (Bidang Informasi TNSI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *