Refleksi 29 Tahun SMA Taruna Nusantara

Siapa yang akan mengisi Indonesia pada tahun 2045? Lalu pada tahun 2055? Jika dihitung mundur, mereka yang akan tampil pada tahun-tahun itu adalah manusia Indonesia kelahiran tahun 1990 — 2010. Di mana mereka sekarang berada? Sebagian sudah selesai kuliah – bekerja, sebagian masih kuliah, SMA, SMP, SD dan mungkin sebagian lagi baru masuk sekolah dasar.

Apakah mereka semua itu dipersiapkan untuk menyongsong berbagai tantangan pada 2045-2055?

Tampaknya, cara berpikir seperti itu sudah dimiliki oleh Jenderal L.B. Moerdani pada awal 1980-an. Dia memikirkan masa depan Indonesia mulai pada 2025 dan seterusnya. Dia memikirkan siapa yang akan mengisi masa depan Indonesia tersebut. Dia memikirkan bagaimana menyiapkan SDM untuk mengisi masa tersebut. Dia memikirkan apa saja yang harus disiapkan dan dibekalkan kepada SDM-SDM calon penerus bangsa itu. Lebih jauh, dia memikirkan siapa yang akan memimpin generasi tersebut?

Pada 1985, ide itu dilontarkan secara terbuka di berbagai forum. Pertama di forum-forum terbatas kalangan ABRI (TNI-Polri). Kedua, di beragam forum pendidikan. Sampai akhirnya, pak Benny menemukan salah satu jodoh pemikirannya, yaitu Taman Siswa — besutan Ki Hajar Dewantoro, embahnya embrio dunia pendidikan Indonesia.

Singkat cerita, setelah melalui penggodokan matang selama bertahun-tahun, akhirnya pada 14 Juli 1990, SMA Taruna Nusantara resmi berdiri. Kenapa level SMA? Hasil kajian tim pak Benny menyimpulkan, bahwa level SMA adalah tahapan paling krusial setelah pendidikan dasar (PG — TK — SD — SMP) sebelum manusia berkiprah dalam berbagai bidang. Pada tingkat SMA-lah manusia Indonesia menentukan pilihan mau kemana setelahnya. Pak Benny berharap, lulusan SMA tersebut tidak salah pilih jalan kehidupan. Pak Benny bermimpi, selama anak-anak muda itu digembleng selama 3 tahun, mereka mendapatkan bekal memadai untuk menjalani kehidupan panjang selanjutnya.

Dalam hitungan pak Benny, siswa SMA tersebut akan mulai berkiprah dan bisa diharapkan karyanya, setelah 30 tahun lulus. Bukan sembarang hitung. Setelah 30 tahun lulus SMA, seorang manusia akan berada pada kisaran usia 50 tahun. Awal mula usia emas dan matang pada era ini. Di bidang militer/polisi, seorang perwira baru bisa meraih level bintang (jenderal) setelah mengabdi paling singkat 28 tahun!  Level yang dianggap punya kekuatan untuk berkarya lebih baik. Pada bidang akademik, seorang dosen bisa meraih predikat profesor, sekitar 8 tahun setelah meraih gelar doktor.

Saat ini, SMA TN memasuki usia ke-29 tahun, atau lulusan tertuanya yaitu angkatan pertama sudah berkiprah dan berkarya selama lebih dari 25 tahun. Masih ada waktu 5 tahun, untuk menunggu bukti prediksi pak Benny terhadap lulusan SMA Taruna Nusantara. Lulusan yang kiprahnya bisa mulai diandalkan menjadi pemimpin negeri ini. Kapan itu? Tahun 2023-2024, waktu terjadinya suksesi kepemimpinan Indonesia. Semoga prediksi dan visi pak Benny terwujud. Amin.

Konsep SMA TN

Sebuah sekolah akan menghasilkan lulusan berkualitas jika dibekali oleh konsep yang tepat. Lalu konsep tersebut dijalankan oleh SDM yang juga tepat. Pak Benny adalah ahli strategi, visioner, dan menjadi salah satu bapak intelijen Indonesia. Kepiawaiannya dalam bidang militer dan kenegaraan diakui banyak kalangan baik teman maupun musuh.  Namun, kehebatan beliau di berbagai bidang itu tidak membuatnya sombong dalam mengkonsep sebuah lembaga pendidikan. Benny tetap merangkul banyak ahli dan profesor saat itu, yang memang piawai di bidang pendidikan, termasuk dari kalangan taman siswa.

SMA TN menerapkan pola asah asih dan asuh dalam mengelola siswanya yang berasrama. Hal yang berbeda dibanding sekolah berasrama lain yang berada di bawah lembaga militer/kepolisian. Anak SMA berbeda dengan anak lulusan SMA. Anak SMA masih sangat muda, berusia sekitar 14-15 tahun, yang masih membutuhkan sentuhan maksimal dari orangtuanya. Oleh sebab itu, selama berasrama di SMA TN, mereka diperlakukan dengan pola asah asih asuh tersebut. Siapa yang jago menerapkan pola tersebut? Taman Siswa. Sistem among Taman Siswa sudah berurat berakar. Kombinasi TNI dengan Taman Siswa akan menjadi ideal. Ibarat burung, sayap mereka akan leluasa mengepak ke seantero dunia.

SMA TN membekali siswa-siswinya dengan 3 aspek pendidikan yaitu:

  • Kepribadian (karakter)
  • Kesamaptaan jasmani (fisik)
  • Akademik

Tiga aspek yang baru muncul belakangan dengan kombinasi IQ (intellectual quotient), EQ/SQ (emotional/spiritual quotient) dan PQ (physical quotient). SMA TN tidak hanya menggembleng siswa dengan bekal disiplin ala militer — tempaan fisik, melainkan juga bekal akademik dan kepribadian (karakter, termasuk sisi spiritual). Ketiga aspek itu, sampai saat ini, dan mungkin sampai berdekade-dekade mendatang masih relevan. Bahkan dalam beberapa sisi, justru semakin krusial dan dibutuhkan. Sebagian dari kita sepakat, bahwa salah satu masalah kritis bangsa ini berada pada aspek kepribadian (karakter/spritual). Banyak yang cerdas tapi tidak berkarakter. Banyak yang jago memimpin tapi tidak berkepribadian. Banyak yang lengkap sebagai pribadi, tapi tidak sehat dan bugar.

Selain itu, konsep awal SMA TN juga dilengkapi dengan 3 wawasan pendidikan yaitu:

  • Wawasan kejuangan
  • Wawasan kebangsaan
  • Wawasan kebudayaan.

Wawasan kejuangan mendidik siswa untuk memiliki daya juang tinggi (sekarang dikenal dengan nama AQ — Adversity Quotient yang dipopulerkan oleh Paul G. Stoltz) dalam merespon dan mencapai tujuan. Wawasan ini bercermin pada perjuangan para pendahulu negeri yang berjuang memerdekakan negeri ini, melalui beragam cara, baik fisik maupun non fisik.

Wawasan kebangsaan mengajarkan siswa untuk mencintai negerinya luar dalam secara total. Negeri yang dibangun dengan susah payah oleh pendiri bangsa, dibungkus oleh impian-impian visioner masa depan. Slogan NKRI harga mati, bukan pepesan kosong dalam pendidikan wawasan kebangsaan SMA Taruna Nusantara.

Wawasan kebudayaan, membekali siswa SMA TN tentang betapa hebatnya bangsa ini; Betapa kayanya negara ini; Betapa beragamnya nusantara ini. Kondisi yang harus diresapi lalu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya, siswa SMA TN berasal dari seluruh pelosok Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Lulusan SMA TN seharusnya  sudah tidak perlu grogi dan asing dengan teriakan masa kini bernuansa heroik: Saya Indonesia — Saya Pancasila.  Siswa SMA TN selama tiga tahun berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari bersama perbedaan dan keberagaman namun berdasarkan semangat persatuan. Sebuah wawasan nusantara yang sesungguhnya.

Masya Allah, ketika saya terjun ke dunia pendidikan lebih dari satu dekade lalu, ternyata konsep pendidikan SMA TN ini adalah konsep yang luar biasa lengkap!  Tidak heran jika konsep SMA TN ini kemudian di-copypaste oleh banyak pihak dalam membangun sekolah berasrama. Beberapa pendiri dan konseptor SMA TN pun ‘laku’ menjadi konsultannya. 

SDM SMA TN

Untuk mendukung sebuah konsep, dibutuhkan SDM yang tepat dan memadai. Dua jenis SDM itu adalah pengelolanya (guru dan perangkat pendukungnya) serta siswa yang dikelola. Para pendiri SMA TN sudah memiliki konsep lengkap dalam memilih SDM tersebut.  Mereka sudah menenttukan kriteria, spek dan jenis SDM yang dibutuhkan agar konsep bisa berjalan dengan baik.

Itulah sebabnya, seleksi guru dan perangkat pendidikan dilakukan dengan sangat ketat. Hanya guru terbaik yang bisa masuk menjadi pengajar di sekolah tersebut. Mereka berasal dari sekolah-sekolah unggulan di seluruh Indonesia. Bahkan, sebelumnya para pendiri pun sudah menyeleksi kepala sekolah dan para wakilnya. Mereka menjatuhkan pilihan kepala sekolah kepada seorang profesor antropologi yang memang sangat berpengalaman dalam mengelola lembaga pendidikan, yaitu Profesor Tarwotjo. Bayangkan… sebuah SMA dipimpin oleh seorang profesor. Tapi demi kualitas, hal itu dilakukan. Dan hebatnya, sang profesor pun mau. Tentu, ada alasan khusus kenapa pak Tarwotjo begitu bergairah memimpin SMA, sebuah degradasi lembaga bagi seorang profesor.

Sang profesor didampingi oleh para wakil kepala sekolah yang berasal dari latar belakang berbeda. Urusan akademik – kurikulum dipimpin oleh mantan kepala SMAN 1 Yogyakarta — Sri Martoyo. SMAN 1 Yogya sudah amat terkenal sebagai gudangnya lulusan-lulusan bermutu akademik kelas satu. Bidang kesiswaan (aspek kepribadian) dipercayakan kepada seorang kolonel marinir Karim Usman.  Pak Benny berkali-kali mempelajari sistem pembentukan karakter siswa di sejumlah lembaga pendidikan. Untuk siswa selevel SMA, korps marinir menjadi pilihannya. Sebagai perwakilan taman siswa dengan sistem amongnya,  terpilih Ki Sunarno sebagai wakil kepala sekolah. Sebuah sekolah tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh tim administrasi yang memadai, sehingga wakil kepala sekolah bidang itu dipercayakan kepada seorang kolonel TNI AD — Sadja M.

Bagaimana dengan para siswanya? Setali tiga uang. Seleksi ketat diberlakukan. Siswa yang boleh ikut hanya lulusan SMP yang selama bersekolah harus selalu berada di dalam peringkat 10 besar, sejak kelas 1 sampai kelas 3. Nilai beberapa mata pelajarannya, minimal 7.5. Seleksi yang diterapkan berjenjang mulai dari kabupaten, propinsi sampai tingkat nasional. Materi yang dujikan mulai dari akademik, kreativitas, kesamaptaan jasmani, kesehatan sampai wawancara ideologi. Tidak ada kongkalikong, karena pak Benny dan timnya mengawasi langsung seluruh proses tersebut, yang melibatkan komando TNI sejak dari kabupaten (Kodim). Dari seluruh Indonesia, dengan latar belakang begitu beragam, lebih dari 10.000 siswa mendaftar.

Akhirnya, hanya 281 siswa yang terpillih. Ada anak tentara, anak polisi, anak pengusaha, anak pejabat… tapi sebagian terbesar adalah anak-anak keluarga termarjinalkan. Anak tukang jahit, anak nelayan, anak petani, anak guru, anak… dan beragam profesi lainnya. Mereka berasal dari  Jakarta, Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Timor Timur dan pelosok Papua.  Semua terwakili!

Perjalanan 29 Tahun

Sebuah lembaga pendidikan, akan menghasilkan lulusan berkualitas jika dan hanya jika mampu menjaga dan memperbaiki konsep awal serta dikelola oleh SDM yang berkualitas dan input siswa yang terseleksi.

Sejak 1990 hingga 2002, SMA TN menggratiskan seluruh biaya pendidikan. Pak Benny memang menyiapkan dana untuk operasional sekolah tersebut selama 12 tahun. Berikutnya, pak Benny berharap para penerusnya mampu melakukan hal yang sama. Namun, harapan itu tak terwujud.  Sejak 2003 hingga sekarang SMA TN menghapus beasiswa tersebut dan menjelma menjadi sekolah swasta biasa berbayar, meski tetap berada di bawah Departemen Pertahanan. Pada 2007,  salah satu kekuatan utama SMA TN yaitu Taman Siswa, secara de jure (dan kemudian de facto) tersingkir dari pengelolaan SMA TN. Hal tersebut sebagai akibat dari perubahan kebijakan yayasan pengelola SMA TN yang beralih dari Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman (YKPBS) ke Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahaan (YKPP). Ibarat seekor burung, salah satu sayapnya sudah patah. Tanpa Taman Siswa, SMA TN beroperasi dengan kekuatan  yang tidak lagi sama dengan visi pendiri.

Kebijakan pengelola SMA TN sangat vital dalam membawa gerak langkah sekolah ini dalam menciptakan lulusan-lulusan sesuai dengan cita-cita pendiri. Zaman memang berubah. Kondisi juga berubah. Banyak hal berubah. Namun konsep SMA TN yang digagas para pendiri masih relevan sampai sekarang dan juga nanti. Yang diperlukan justru adalah penguatan dan pengayaan sesuai kebutuhan zaman. Lihatlah sejumlah sekolah lain yang lebih tua. Tengoklah sejumlah akademi yang berada di bawah lembaga pemerintahan baik militer maupun sipil. Mereka masih tetap mampu menjaga rohnya. Konsep dasar tidak pernah berubah selama masih relevan.

Sebagai alumni, saya sangat berharap dan selalu terus berdoa, semoga cita-cita pendiri khususnya L.B Moerdani dan Try Sutrisno, akan terwujud dan terus lestari. Cita-cita mereka mulia. Visi mereka luar biasa. Bukan untuk kepentingan pribadinya, melainkan untuk masa depan bangsa dan negara. Mereka juga pasti berharap, SMA TN justru semakin baik kualitasnya dibanding pada saat mereka dirikan. Jika kondisi hari ini sama dengan kemarin, maka kita merugi. Jika kondisinya lebih buruk, maka kita bukan hanya merugi… tapi terlaknat.

Hanya para pengelola di tingkat atas, para elit, dan pemilik kebijakan yang dapat menjaga roh SMA Taruna Nusantara (terutama konsep dan SDM-nya), agar terjaga dan makin baik. Guru dan siswa hanya pelaksana. Sedangkan alumni, terus berkarya dan berdoa.

Dodi Mawardi

Dodi Mawardi

Penulis profesional & pembicara bidang jurnalistik/komunikasi. Berpengalaman mengelola perusahaan dan bisnis. Hidup begitu berwarna. Alhamdulillah...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *