Refleksi Nilai-nilai Taman Siswa

Tulisan ini untuk mengenang Dr. Ismu Tri Parmi, M.Pd. (alm) dan jasa-jasanya dalam mempertahankan nilai-nilai Taman Siswa.

Refleksi Nilai-Nilai Taman Siswa: Tribute kepada Ibu Dr. Ismu Tri Parmi, M.Pd.

(“Penulis adalah keluarga besar TN1 yang merawat Alm. Bu Ismu di saat-saat akhir hidupnya. Mereka banyak berdiskusi, hingga berencana menerbitkan buku. Tetapi ajal lebih dulu menjemput Ibu kita”)

Banyak anak bangsa tidak tahu apa sebenarnya arti Taman Siswa yang didirikan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara (KHD) di tahun 1920an. Pengikut KHD di era 1970an pun ketika ditanya tidak mampu memberikan jawaban yang berarti, apa sebenarnya Taman Siswa. Mereka hanya dapat menjelaskan:

“Kita ini pamong yang setiap saat selalu ada saat dibutuhkan siswa….hubungan kami dengan siswa seperti keluarga…”

Apa itu pamong? Kalau sudah selalu berada di dekat siswa, lalu apa artinya? Kalau tidak jelas begitu, nggak usahlah kita menerapkan pembelajaran Taman Siswa, kita buat kurikulum nasional sendiri saja. Yang umum sajalah.

Kurang-lebih demikian dilema pengambil keputusan di bidang pendidikan nasional saat KHD sudah tiada. Taman Siswa adalah sebuah filosofi pendidikan yang sangat sulit dipahami sejak didirikannya bahkan sampai era saat ini. Jatuh bangun organisasi Taman Siswa dengan nilai-nilai luhurnya merupakan fluktuasi jaman yang sudah dianggap biasa.

Meskipun demikian, penulis ingin membagi sedikit informasi dari arti Taman Siswa karena dua hal: Yang pertama karena penulis mempelajari pendidikan lanjutan formal di bidang Ilmu Pendidikan Kedokteran; yang terkait erat dengan Teori Belajar, yang merupakan dasar dari filosofi Taman Siswa dan kedua karena penulis mengenal secara personal seorang pejuang nilai-nilai ke-Taman Siswa-an yang tak kenal lelah sepanjang hayatnya, berada di garis depan membela kepentingan anak didik; yang adalah generasi penerus bangsa Indonesia. Ismu Tri Parmi adalah Doktor di bidang Pendidikan yang membaktikan seluruh hidupnya, bertahan hingga ajal menjemput, demi tegaknya nilai-nilai Taman Siswa. Beliau adalah salah satu pahlawan tanpa perlu tanda jasa. Namanya akan harum sepanjang masa di bumi Indonesia.

Apa yang membuat seorang Ismu membela dengan segenap jiwa raganya untuk memperjuangkan Taman Siswa? Sebenarnya nilai-nilai Taman Siswa dapat dijelaskan. Saya yakin setelah memahaminya, Pembaca akan meneruskan perjuangan beliau, meneruskan perjuangan KHD yang tidak lain dan tidak bukan adalah demi masa depan calon-calon penerus Bangsa Indonesia, anak-cucu kita semua.

Terlampir beberapa kutipan dari buku Kumpulan Artikel Karya Ki Hadjar Dewantara jilid pertama (Tauchid, dkk, 1962 terbitan Taman Siswa).

Tulisan Ki Hajar Dewantara didominasi dengan harapan mengenai kemandirian yang bertanggung jawab sebagai keluaran dan sebuah proses pendidikan yang berkualitas. Tak dapat dipungkiri bahwa hal ini berkaitan erat dengan masa perjuangan kemerdekaan. Akan tetapi arti dari keluaran yang mandiri dan bertanggung jawab dapat menjawab berbagai isu pendidikan sepanjang jaman, seperti kualitas lulusan, lulusan berbudaya tinggi, dan manfaat lulusan bagi orang banyak.

Tulisan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang pertama di Indonesia; yang ditulis di awal abad 20 ini, menyentuh setiap falsafah dasar ilmu pendidikan modern, dari setiap jenjang pendidikan mulai kanak-kanak sampai pendidikan dewasa, sifat-sifat manusia, sisi kebudayaan, pembelajaran berbasis realitas, sisi ilmu kejiwaan dan ilmu kesenian, ilmu bahasa – komunikasi dan ilmu antropologi budaya yang keseluruhannya mendukung kualitas keluaran sebuah proses pendidikan.

Mengapa KHD mengubah namanya dari Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara? Karena KHD tidak ingin ada perbedaan antara yang disebutnya sebagai “kawula” dan “gusti”. Suatu ideologi kesetaraan yang telah tercetus di masa kolonial Belanda di suatu konteks hirarki sosial Jawa di awal abad 20 yang amat fundamental. Bisa dikatakan bahwa KHD adalah “leader” yaitu Agen Perubahan. Bukan dalam arti Pengelola alias “manager” dengan embel-embel gelar sebagai pemimpin suatu organisasi. Di dalam buku kumpulan artikelnya yang pertama ini juga tidak tercantum gelar Doktor Honoris Causa yang telah didapatkannya dari Universitas Gadjah Mada. KHD sengaja berpesan pada panitia pengumpul artikel-artikel beliau, supaya gelar tersebut tidak dicantumkan dengan tujuan agar tidak membuat perbedaan-perbedaan dengan siapa? Dengan muridnya, dengan masyarakat.   

Munculnya karya besar KHD tentang Taman Siswa dipengaruhi hasil diskusi kelompok Selasa Kliwonan yang terdiri dari kaum ningrat dan alim ulama di masa muda beliau yang menggagas dan mencurahkan perhatian pada metode-metode pembelajaran ala Jawa; seperti “Nang-Ning-Nung”, “Bibit-Bebet-Bobot” dan “Cipta-Rasa-Karsa”. Selain itu juga dipengaruhi perjalanan hidup KHD di Negeri Belanda tempat beliau menempuh pendidikan Akta Guru. Prinsip-prinsip Froebel dengan Kindergarten-nya (Taman Kanak-Kanak), Maria Montessori dari Itali dengan pendidikan anak usia dini, dan prinsip-prinsip belajar berasrama dari Rabindranath Tagore, India merupakan referensi utama dalam mendirikan Taman Siswa. Adalah Taman Siswa sebagai tempat berkembangnya cikal bakal penerus bangsa Indonesia, dimana mereka tumbuh selayaknya bunga-bunga yang mendapat siraman perhatian sepenuhnya dari para Pamong, untuk tumbuh dan berkembang menjadi insan yang mandiri dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara telah menggunakan bukti ilmiah pada masanya, untuk membangun negaranya, dengan menambahkan bukti ilmiah kontekstual dari Indonesia sendiri. Tulisan-tulisannya merupakan sumber referensi ilmiah yang juga mengacu pada referensi-referensi ilmiah pada jamannya sehingga menambahkan manfaat pada pohon pengetahuan di bidang pendidikan dan kebudayaan. Keilmiahan berbasis bukti, inilah yang menjadikan Taman Siswa sesuatu yang fenomenal dan bukan hanya sekedar ucapan seorang KHD.

Taman Siswa tidak hanya terdiri dari satu istilah saja, akan tetapi terdiri dari berbagai tahapan, mempunyai nama sendiri sesuai tahapan tumbuh – kembang anak didik. Ki Hadjar menyebutkan Taman Indriya dengan penekanan pada asah-asih-asuh panca indera, bagi anak-anak balita. Taman Siswa sendiri adalah sebutan untuk anak usia Sekolah Dasar dimana memerlukan olah tubuh dan perhatian di masa awal pubertas yang semaksimal mungkin. Taman Madya adalah sebutan untuk remaja usia Sekolah Menengah Tingkat Satu dan Taman Dewasa adalah mempersiapkan kemandirian yang bertanggung jawab bagi usia akhil baliq, setara Sekolah Menengah Atas. Jangan lupa bahwa KHD juga memiliki perhatian terhadap pendidikan wanita dengan Wanita Taman Siswa, dan untuk kaum petani dengan Taman Tani. Guru-guru sendiri mendapat perhatian khusus melalui Taman Guru. Adapun perguruan Tinggi dinamakan Taman Wiyata dari kata “Pawiyatan” yang berarti tempat menimba ilmu sepanjang hayat.

Kongres Taman Siswa I: 1930: KHD menulis tentang Perilaku Profesional dan mengulas tentang keluaran pendidikan nasional.

“Budi pekerti adalah bersatunya gerak, fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan yang lalu menimbulkan tenaga…Dengan adanya Budi Pekerti, manusia berdiri sebagai manusia yang merdeka (berpribadi) dapat memerintah sendiri (mandiri). “

Sebagai pengajar komunikasi profesi kesehatan dan perilaku profesional di perguruan tinggi, penulis dan tim pengajar merasa kesulitan karena setiap kali seolah-olah berhadapan dengan lulusan SMU yang sama sekali belum pernah mendapatkan pelajaran mengenai dasar-dasar perilaku profesional ini. Pendidikan Budi Pekerti sudah hilang dalam kurikulum nasional. Yang berarti hilanglah kesempatan mengasah empati, yang merupakan dasar dari kompetensi pendidikan apapun. Kepekaan sosial mungkin diajarkan di mata pelajaran lain, namun biasanya disertai muatan keagamaan atau muatan kenegaraan. Padahal kepekaan sosial mendasari kompetensi dari semua mata pelajaran; lepas dari muatan apapun. Usaha memperbaikinya ketika siswa sudah sampai pada tahap perguruan tinggi tidaklah optimal. Terlebih kurang dari dua puluh persen lulusan SMU yang berkempatan menempuh pendidikan tinggi.

Rapat Taman Siswa 3 Juli 1922: KHD mengulas tentang suri tauladan Guru atau Role-Model.

“…Sekolah itu harus menjadi rumahnya guru…dari dekat dan jauh datanglah murid kepadanya. Belajar dalam Paguron adalah soal nomor dua…pawiyatan. Yang utama adalah tetap pribadinya guru yang memberikan tuntunan hidup.”

“Setiap saat berada di dekat mereka…” sepertinya kutipan ini tak asing lagi. Guru yang baik, seperti juga orang tua yang baik, selalu berada setiap saat untuk membantu muridnya atau anaknya. Setiap saat dapat diartikan pendidikan berasrama seperti yang dilakukan KHD dengan Taman Siswa, dapat juga merupakan ungkapan yang menunjukkan respon yang cepat dan tepat saat dibutuhkan, misalnya dengan bantuan teknologi informasi. Respon yang lambat dan terkesan memberikan jarak bukan termasuk nilai-nilai Taman Siswa. Apakah pendidik jaman sekarang memahami nilai-nilai ini? Indonesia dan Asia pada umumnya, sangat terkenal dengan budaya hirarki sosial dimana Guru, Orang Tua, Pemimpin, seolah-olah berada di tempat yang lebih tinggi sehingga “ditakuti”, “disegani”, dan “membuat malu-malu” yang hirarki sosialnya dipersepsikan lebih rendah, misalnya anak dan masyarakat. Clifford Geertz, seorang antropolog dari Amerika di tahun 1950an sudah mengungkapkan hal ini; yang setengah abad kemudian masih dapat dibuktikan dalam disertasi penulis, dalam konteks hubungan Dokter-Pasien. Meskipun demikian, nyata bahwa KHD dengan Taman-Siswanya – jauh sebelum penelitian Geertz, sudah menentang hirarki sosial ini dan mengedepankan kesetaraan.

Ulasan KHD tahun 1938 tentang peran guru sebagai Tut Wuri Andayani

“ Mereka itu (murid kita) lebih kurang seperti murid-murid dari lain-lain sekolah, bedanya yaitu bahwa mereka berbuat bersama-sama dengan kita, pemimpin-pemimpin mereka, meskipun tinggal di belakang mereka, sebagai penasehat dan sebagai pemimpin-pemimpin yang berdiri di belakang barisan. Dengan sikap Tut Wuri Andayani ini, sering terjadi bahwa anak-anak kita berbuat suatu kesalahan, sebelum atau tanpa tindakan kita pada saatnya. Itu tak mengapa, tiap kesalahan akan membawa ke pidananya sendiri, kalaupun tidak, kita pemimpin-pemimpin, mendorong datangnya hukuman yang – kalau tidak demikian – tidak ada; dengan demikian tiap kesalahan itu bersifat mendidik. “

Ternyata, tidak semua Guru paham Tut Wuri Andayani (TWA). Ada yang mengatakan bahwa kalau berada di belakang, kita ikut membantu. Kita itu siapa? Ya kita ‘hanyalah pengikut’, kita ‘hanyalah bantu-bantu’. Tidak benar, Pembaca yang Budiman. Justru dengan TWA itulah pemimpin yang sebenarnya. Bukan selalu berada di depan dan dilihat orang banyak dan menjadi teladan. Di belakang justru keteladanan dengan memberikan kebebasan bagi yang di depan, dan memberikan segala daya upaya ketika terjadi sesuatu dengan yang di depan. Itulah tugas yang tersulit menjadi seorang Guru atau Pemimpin.

Pembaca yang Budiman, penulis membuktikan dalam penelitian tentang nilai-nilai Taman Siswa (yang didukung oleh Lembaga Pendidikan UGM di tahun 2012) sebagai muasal dari Pembelajaran Berpusat pada Siswa, bahwa Guru adalah fasilitator, bahwa Guru bukan hanya berdiri di depan kelas dan mengajar, begitu juga seharusnya dengan seorang pemimpin, bahwa berada di belakang, memberikan observasi langsung dan pemberian umpan balik merupakan fondasi dari Teori Belajar Konstruktivisme. Teori yang baru ditemukan di tahun 1930an, setelah KHD menemukan TWA.

Dari uraian di atas, dapat ditarik asumsi bahwa pengikut KHD di tahun 1970an belum dalam menjelaskan apa itu nilai-nilai Taman Siswa, karena barulah di abad 21 ini, Indonesia menggunakan istilah Kurikulum Berbasis Kompetensi yang intinya adalah Student-Centered Learning (SCL); adopsi dari negara-negara barat. Seandainya 40 tahun lalu tahun itu mereka dapat menjawab – apa itu Taman Siswa – dengan jawabannya adalah penjelasan panjang lebar tentang SCL; niscaya saat ini seluruh kurikulum pendidikan nasional sudah menggunakan nilai-nilai Taman Siswa; nilai-nilai yang asli dari Tanah Air Indonesia sendiri.

Almanak Perguruan Taman Siswa, 1942: Ulasan KHD tentang tugas guru yang mendukung kualitas keluaran pendidikan: Kemandirian anak didik.

…”Among – sistem kita yaitu mendukung kodrat alamnya anak-anak yang kita didik, agar dapat mengembangkan hidupnya lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri.” …“Ngemong” sama artinya dengan memberi kelonggaran pada anak untuk mendidik dirinya menurut kodratnya sendiri.”

Tulisan di atas adalah penjelasan tentang fungsi ‘Pamong’. Pamong dalam teori pendidikan diibaratkan seorang yang selalu mengikuti anak yang ‘seolah-olah’ berusia 2 tahun kemanapun perginya, memberikan kebebasan pikiran, tujuan dan tindakan, namun selalu siap siaga agar bila terjatuh dapat ditolong setiap saat. Pamong ini memiliki sikap Tut Wuri Andayani. Demikianlah seorang pendidik yang sebenarnya. Ia tidak akan berkata lebih banyak dari muridnya; namun lebih banyak mengamati dan mendengarkan. Mengamati dan Mendengarkan, bukan hal yang mudah dilakukan. Keduanya memerlukan panca indera yang tajam dan terasah dengan baik. Benar adanya bahwa Tuhan YME memberikan dua mata, dua telinga dan satu mulut pada manusia. Agar ia lebih banyak menyerap informasi dan bukan berkata-kata yang tidak bermanfaat.

Seorang Pamong yang baik tidak akan hanya memberikan informasi, namun memberikan umpan balik yang membangun. Dengan demikian komunikasi dialogis terjadi antara Guru dan Murid dan disinilah awal dari kesetaraan umat manusia. Pamong akan berkembang bersama ide-ide dari Sang Murid, sehingga memberikan kesempatan kepada murid menjadi seorang “leader”, dengan memberikan arahan seperlunya tergantung usia murid. Semakin dewasa maka arahan akan bersifat verbal dan non-verbal daripada tindakan, misalnya dibandingkan dengan anak 2 tahun yang memerlukan pertolongan kedua tangan.

Dari Pamong yang Tut Wuri, lahirlah calon-calon pemimpin yang Andayani dan bertanggung jawab. Penulis ulangi bahwa “leader” disini berarti agen perubahan dan bukan sekedar orang dengan label pemimpin sebuah organisasi dan hanya bertindak secara administratif. Agen perubahan merupakan kebutuhan jaman sekarang, sesuai arahan mantan Menteri Kesehatan Meksiko yang saat ini berkedudukan sebagai peneliti di WHO dan di Harvard Medical School: Profesor Julio Frenk. Agen perubahan diperlukan agar jaman menjadi lebih baik dan bukan status quo, yang mungkin memihak kepentingan golongan tertentu. Demikianlah tuntutan keluaran pendidikan di era saat ini haruslah mencetak “leader” dan bukan sekedar menghasilkan ahli atau menghasilkan seorang profesional. Untuk menjadi ahli dan menjadi profesional saja tidak mudah apalagi menghasilan “leader”.

Apabila Pembaca berkesempatan menilik kembali butir-butir Pancasila sila ke-4 dengan simbol kepala banteng. Apakah terdapat butir mengenai bagaimana menjadi seorang pemimpin? Butir mengenai musyawarah dan mufakat cukup banyak, tapi belum ada penjelasan butir tentang menjadi pemimpin dan lebih jauh lagi menjadi “leader”. Ini berarti pembelajaran ‘leadership’ di Indonesia sangat urgen. Minimnya pendidikan “leadership” bisa jadi merupakan penyebab minimnya figur pemimpin di Indonesia saat ini. Pengambilan keputusan memang dilakukan dengan proses musyawarah dan mufakat. Tetapi sebelum proses ini berlangsung, siapa “leader” nya? Kepala Banteng tentunya merupakan simbol “leader” sehingga dalam butir-butirnya perlu mencantumkan arti ‘leadership’ dan bukan sekedar “manager” atau pengelola.  Perlu dikaji ulang nilai-nilai ‘leadership’ dari Pancasila yang originalitasnya, salah satunya pernah dicetuskan oleh seorang Notonegoro, Guru Besar dari UGM.

Pidato di Radio Republik Indonesia Yogyakarta, 14 Januari 1940: Ulasan KHD tentang hubungan pendidikan dan kebudayaan:

“Pendidikan dan pengajaran itulah laku yang bersifat kulturil….kulturil adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari kemasakan budinya, yaitu buah dari kehalusan perasaannya (moril), buah dari kecerdasan fikirannya, serta buah dari kekuatan kehendaknya, yaitu segala tenaganya. Jadi kultur atau kebudayaan itu nyatalah buah dari “trisaktinya” manusia. Dan kalau kita lihat segala ujud perbuatan manusia yang masak budinya itu semuanya mempunyai sifat indah serta berfaedah oleh karenanya menambah keselamatan serta kebahagiaan atau rahayu di dalam hidup manusia di dunia ini.”

Pendidikan adalah mempertajam pikiran dan memperhalus perasaan.” Kiranya kata-kata Tan Malaka ini sesuai dengan tulisan KHD di atas. Buah dari pendidikan yang baik adalah budaya, adat istiadat, sistem masyarakat, yang akhirnya membentuk suatu Bangsa yang bermartabat dan berdaulat. Demikianlah KHD menjelaskan mengapa Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari Kebudayaan. Ini adalah pesan utama Dr. Ismu Tri Parmi (alm) dalam disertasi yang diselesaikannya dalam kurun waktu kurang dari 3 tahun, belum lama berselang. Beliau adalah siswa yang menempuh pendidikan dengan waktu tercepat dan nilai tertinggi di angkatannya di Universitas Negeri Yogyakarta (dulu IKIP Yogya) ketika pendidikan sarjana, juga ketika pendidikan doktoral. Beliau mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya di SMA Taruna Nusantara Magelang.

Majalah “Keluarga” Tahun ke 1 No 11 – Oktober 1937: Ulasan KHD tentang prinsip kesetaraan atau partnership di dalam sebuah keluarga.

Dari perasaan cinta kasih inilah si-bapa dan si-ibu lalu dapat menghilangkan rasa kemurkaan diri hingga dapat menghambakan dirinya dengan seikhlas-ikhlasnya kepada keluarganya…bahwa selamat dan bahagianya masing-masing anggota dari keluarganya itulah akan membawa kenikmatan untuk ibu bapa dan lain-lain anggota keluarga. Disinilah letaknya persatuan diri dengan masyarakat, kawula dengan pradja, yang dicita-citakan segala macam pendidikan masyarakat…orang memakai perkataan lain yang sama maksudnya yaitu persatuannya Kawula Gusti, karena yang dimaksud sebagai “gusti” itu sesungguhnya atau (semestinya) tak bukan dan tak lain adalah lambang persatuan rakyat yang merdeka. Persatuan rakyat yang merdeka terlihat seterang-terangnya di dalam hidup keluarga.

Tulisan di atas mencerminkan betapa luas wawasan dan ilmu pendidikan yang dimiliki KHD sehingga ia mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari UGM di tahun 1950an. Pendidikan selain terkait dengan Budaya juga terkait erat dengan Ilmu Psikologi, dasar dari teori-teori belajar dan menuntut belajar. Keberadaan keluarga sebagai tempat belajar pertama adalah amat krusial.

‘Belajar bisa dilakukan di mana saja dan tidak hanya di sekolah.’

Ungkapan KHD ini mirip dengan ungkapan filsuf Yunani Kuno 3000 SM: Lucius Seneca:

“Non Scholae Sed Vitae Discimus.” Belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk kehidupan.

Oleh karena itu banyak kemudian uraian dari KHD tentang olah gending, sari-swara, yang intinya adalah mengajarkan kepekaan dengan cara mengasah panca indera saat seseorang masih balita. KHD memulai program pendidikan dengan mendirikan “Taman Indriya” bagi kanak-kanak (bukan memulai dengan Taman Siswa). Disinilah dimulainya proses belajar bibit-bibit penerus bangsa di periode usia emas. Usia yang mampu menyerap apapun yang ada di sekelilingnya, sehingga membutuhkan asah-asih-asuh yang terbaik.

Pembaca yang Budiman, semakin jauh membaca kumpulan artikel KHD, penulis merasa justru pengetahuan tentang Ilmu Pendidikan semakin banyak untuk digali kembali dan tidak pernah merasa selesai membacanya meskipun sudah diulang beberapa kali. Pemikiran pendiri Taman Siswa ini demikian maju melampaui jamannya hingga puluhan tahun di depan, sehingga sulit bagi awam memahaminya.

Namun apabila masih ada tujuan mempersembahkan yang terbaik bagi Anak Negeri, dengan cara memberikan kesempatan untuk menjadi insan mandiri dan bertanggung jawab, dan bukan dengan memanjakan dan bukan pula dengan sikap otoriter yang mementingkan diri sendiri, disitulah nilai-nilai Taman Siswa akan hidup, seperti juga nama kedua pahlawan tanpa tanda jasa di dalam tulisan ini. Kalau negara-negara barat bangga dengan Student-centered Learning (SCL), mengapa Indonesia tidak bangga dengan Taman Siswa yang sudah ada jauh sebelum SCL menjadi trendsetter pendidikan di dunia? Taman Siswa adalah sesuatu yang luar biasa, bukan hal-hal remeh. Taman Siswa merupakan hasil karya asli Bangsa Indonesia yang sudah semestinya dimiliki oleh setiap insan Indonesia.

Berbangga dan berbahagialah Pembaca yang sempat mengenyam pendidikan dengan nilai-nilai Taman Siswa. Sebuah proses belajar yang baru di dekade terakhir merupakan trend pendidikan di dunia internasional. Tidak setiap Anak Bangsa mendapat kesempatan emas ini.

Teruskanlah perjuangan kedua pahlawan yang tidak pernah membutuhkan tanda jasa ini, dengan melestarikan nilai-nilai luhur dari Taman Siswa bagi seluruh Anak Indonesia, sehingga kelak mereka dapat mempersembahkan karya terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara dan dunia.

“Selamat jalan Bu Ismu, mengenalmu adalah mengenal belajar sepanjang hayat. Semoga Tuhan YME memberkati kami semua dengan bekal kemampuan belajar yang engkau berikan; dan ilmu amaliyahmu tak akan pernah putus karena akan selalu kami teruskan.”

++++++++++++++++++++++++++++++

Penulis :

dr. Mora Claramita, MHPE., Ph.D.

  • Tim UGM dalam Menggali Nilai-nilai Luhur Ki Hadjar Dewantara
  • Doktor di Bidang Pendidikan Kedokteran dari Universitas Maastricht Negeri Belanda
  • Kepala Departemen Pendidikan Kedokteran dan Bioetika Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan – Universitas Gadjah Mada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *