Belajar Teknik Sedot Air ala Kolonel Simon
Ghalibnya, seorang prajurit itu lekat dengan bedil. Tak adatentara tanpa senapan. Itulah sebabnya, para komandan menanamkan doktrin antikkepada anak buahnya, bahwa istri pertama mereka adalah senjata, bukan seorangwanita. Hal yang sampai saat ini, belum pernah menjadi sebab musabab kecemburuan para istri tentara.
Namun prajurit yang satu ini berani berbeda. Tak mau samadengan kebanyakan anggota TNI lainnya. Walaupun tak menolak doktrin atasanbahwa senjata adalah istri pertama, tapi pada praktiknya dia menjadikan bendalain sebagai pendamping utama.
Bukan sangkur, bukan pedang, bukan pula tankbaja, melainkan pompa air. Ya, perwira asal NTT (Nusa Tenggara Timur) ini sejak 5 tahun lalu, ketika pangkatnya sudah letnan kolonel, memilih pompa air sebagai fokus utamanya. Berkat pompa air itulah, namanya dikenal oleh parajenderal dan dirindukanwarga. Karena pompa itu pula, pangkatnya melonjak tiba-tiba.
Namanya Simon Petrus Kamlasi, pria kalem asli kelahiran NusaTenggara Timur. Tuhan memberkatinya dengan otak cerdas, meski berasal darikampung yang sebagian besarnya warganya adalah orang miskin. Kedua ayah bundanya berprofesi sebagai guru. Sejak kecil, Simon bercita-cita menjadi insinyur. Profesi yang memang sudah lama digandrungi anak kecil seluruh Indonesia, selain dokter, tentara, polisi dan pilot.
Kondisi alam di NTT sudah terkenal kerasnya. Kering. Gersangdi sebagai wilayahnya. Ketika musim kemarau tiba, maka kebanyakan warga pastikesulitan air bersih. Emas dan berlian kalah berharga dibanding air, pada saat itu.
Simon mengalami sendiri bagaimana dia bekerja ekstra keras untuk mendapatkan seember air. Dia harus berjalan jauh dari rumahnya, turun naikbukit bersimbah peluh, demi mendapatkan sumber kehidupan itu. Nyaris setiaphari, selama masa kecilnya. Hal yang begitu membekas sampai dewasa.
“Saat aku mampu, aku akan membuat suatu alat yang bisamembantu mendekatkan air ke pemukiman agar tidak perlu membuang waktu, tenaga danbiaya bagi orang kampung, orang kecil,” begitu tekadnya kemudian, yangmenguatkan dirinya untuk menjadi seorang insinyur.
Plot kehidupan tampaknya mulai berpihak kepada Simon.Selepas SMP, dia mendapatkan beasiswa belajar lanjutan di SMA Taruna Nusantara.Sebuah sekolah yang dibangun oleh Jenderal L.B. Moerdani untuk mencetak calonpemimpin bangsa, dengan sistem asrama di Magelang Jawa Tengah. Seluruh siswanyaberasal dari pelosok Nusantara, dipilih yang berprestasi, dan gratis biayasampai lulus.
Simon bersama beberapa pemuda NTT, termasuk di dalamnya. Di SMAitu, cita-citanya menjadi insinyur semakin menjadi-jadi. Kian dekat menjadikenyataan. Kawan-kawan SMA-nya mendukung. Pola belajarnya menyokong. Materi akademik di SMA itu membantu Simon menguasai ilmu pengetahuan eksakta;matematika, fisika dan kimia. Anak kampung di NTT itu tidak kalah cemerlangdibanding siswa dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, yangsebelumnya dianggap lebih cerdas di bidang akademik.
Bukan kebetulan kalau saya juga termasuk teman seperjuangan Simon di SMA itu. Di kawasan dusun Pirikan, Mertoyudan, Magelang. Lokasinya hanya selemparan batu dari kampus Akademi Militer.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana cerdasnya kawan-kawan dari luar Jawa, termasuk dari NTT, Maluku dan Papua. Pada berbagai ajang lomba ilmiah, mereka termasuk tulang punggung sekolah. Saya tak merasa heranjika kemudian, mereka semua berprestasi dalam tugasnya masing-masing diberbagai bidang. Termasuk Simon Petrus Kamlasi.
Sayang karena alasan biaya, Simon tidak jadi menunaikanimpiannya menjadi insinyur selepas SMA. Dia memilih menjadi anggota TNI AD.Namun selama di Akademi Militer, minatnya ke bidang teknik tetap menonjol.Sehingga ketika bertugas kemudian pun, bidang itulah yang didalaminya. Inilah cikal bakal pria yangkini sudah berpangkat kolonel itu, menciptakan dan mengembangkan pompa airhidrolik ala Simon.
Bukan sembarang pompa air, karena alat ini sudah mampu menyelamatkan ratusan ribu bahkan mungkin jutaan orang di seluruh Indonesia.Bukan hanya di NTT. Berawal ketika Simon bertugas di Kupang, dekat dengantempat kelahirannya. Tekad masa kecilnya untuk mendekatkan air ke pemukiman diawujudkan.
“Saya pulang kampung dan menyaksikan orangtua masihkesulitan air seperti dulu. Jangankan untuk mandi, air untuk minum saja sulit.”
Dengan teknik fisika dan matematika yang sangat dia kuasai,terciptalah sebuah alat yang mampu menyedot air di tempat jauh atau kedalamanke permukiman warga. Dengan biayayang hemat dan efisien. Uji coba dilakukan di kampung halamannya sendiri dengandana pribadi. Berhasil.
Sebenarnya pompa air hidrolik sudah banyak tersedia. Tapi pompa air Simon berbeda. Dia adopsisejumlah teknik di peralatan militer yang memang sudah sangat akrab dengannya.
Dua diantaranya adalah konstruksi tabung dan klep. Simon memasang klep di depantabung, bukan di belakangan tabungseperti kebanyakan pompa air. Klepnya pun terbuat dari karet. Lebih murah danmudah dirawat. Lebih ekonomis lagi karena zat cair sebagai perantara dalampompa Simon ini hanya air. Tidak ada zat lainnya. Hemat.
Sejak itulah, kampung-kampung lain di NTT juga memintanyadipasangkan pompa air serupa. Dengan bantuan banyak pihak, Simon Petrus Kamlasi- prajurit TNI AD, memasang banyak pompaair ciptaanya di berbagai desa se-NTT.
Bahkan kemudian berkembang ke berbagaipelosok Nusantara, yang wilayahnya mengalami kesulitan air bersih. Beberapa tahun kemudian, aksi yang dilakukan Simon dan koleganya diganjar penghargaan rekor MURI. Sebagai pemasangan pompa air hidrolik terbanyak di Indonesia. Aksi nyata yang berbuah kebahagiaan. Dahsyat.
Berkat semangatnya, tekad, komitmen, dan tujuan mulianya,Simon juga mendapatkan penghargaan khusus dari TNI. Pompa hidrolik buatnya diberi nama istimewa, ‘Kartika’. Plus bonus kenaikan pangkatluar biasa. Simon memang pantas mendapatkannya. Dia bukan hanya mengharumkanTNI, namun juga dirinya, keluarganya, daerah asalnya, sekolahnya dan juga kamiteman-temannya. Kami bangga!
Perjuangan para pahlawan Indonesia masa lalu, kini dilanjutkan oleh generasi muda di berbagai bidang. Bentuk perjuangannya mungkin berbeda. Tapi semangatnya tetap sama. MenyatukanIndonesia tidak cukup dengan seribu pekikan, tapi sangat bermakna meski hanya dengan sebuah aksi nyata. Terus berkobar dan penuh energi memberikankarya terbaik bagi bangsa, negara, dan dunia. Seperti apa yang dilakukan Simon Petrus Kamlasi.
“Dulu TNI AD bersama rakyat bersatu melawan penjajah. Sekarang lewat program air, TNI ADbersama rakyat bersatu melawan kekeringan,” ucapnya penuh keyakinan.