Faisal Fathani Dosen Teladan 2013

Faisal Fathani: Penemu Alat Deteksi Dini Longsor
TEUKU FAISAL FATHANI
Lahir: Banda Aceh, 26 Mei 1975
Pekerjaan:
Dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM
Istri: dr Mora Claramita, MPHE, PhD (38)
Anak:
– Cut Karina Fathani (9)
– Cut Farrah Fathani (5)
– Teuku Alamsyah Prawira Fathani (2)
Pendidikan: PhD dari Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang

Hujan lebat berhari-hari mengguyur kawasan rawan longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, sekitar November 2007. Lalu terdengar sirene meraung-raung yang menandakan bahaya segera datang. Dengan komando beberapa warga desa yang terlatih, puluhan orang segera meninggalkan rumah, mengungsi ke tempat yang lebih aman. Sekitar empat jam kemudian, longsor besar melanda, melumat banyak rumah yang baru ditinggalkan penghuninya. Warga pun bersyukur. Berkat alat pendeteksi dini longsor yang dipasang di kawasan itu, mereka selamat.

OLEH M FAJAR MARTA

Teuku Faisal Fathani (38) tak kalah bersyukur. Alat pemantau dan pendeteksi dini bencana longsor yang ia ciptakan bermanfaat bagi masyarakat. Sejak itu ia makin bersemangat mengembangkan alat pendeteksi longsor dan bencana lainnya.
Hingga kini, berbagai alat deteksi dini longsor telah ia ciptakan, dari generasi pertama yang sederhana dan dipantau manual, generasi kedua dengan pencatatan data digital, hingga generasi ketiga berupa real-time monitoring berbasis sistem telemetri. Alat-alat itu dia namakan Gadjah Mada-EarlyWarning System (GAMA-EWS).
“Saya berusaha menumbuhkan kepekaan dan empati, yang memotivasi diri untuk bekerja total guna mengurangi risiko bencana,” kata Lektor Kepala Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Tak sekadar berfungsi melindungi masyarakat dari bencana longsor, GAMA-EWS juga dirancang untuk memberdayakan warga setempat dalam memitigasi bencana alam. Oleh karena itulah GAMA-EWS bisa digolongkan sebagai sistem pemantauan dan peringatan dini bencana longsor berbasis masyarakat. Artinya, pengoperasian dan pemeliharaan alat dilakukan warga setempat.
Selain itu, dilakukan juga investigasi bersama warga, seperti pembentukan organisasi siaga bencana tingkat desa, pembuatan peta risiko longsor, penyusunan standar operasional evakuasi, dan pelatihan evakuasi.
“Konsep pemberdayaan masyarakat perlu dikedepankan. Prinsipnya, warga harus menyadari ancaman bencana di lingkungannya. Ini penting agar mereka mampu membangun kesiapsiagaan dan terwujud ketahanan masyarakat,” kata ahli geoteknik ini.

Tsunami Aceh

Pergulatan Faisal dalam mitigasi bencana longsor berawal saat ia melakukan survei bencana longsor yang terjadi di daerah perbukitan Menoreh, Kulon Progo, DI Yogyakarta, dan Banjarnegara, sekitar tahun 2000. Meski kejadian longsor telah menelan korban jiwa, faktanya banyak warga yang tetap tinggal di daerah rawan logsor tersebut.
“Ini mengusik hati saya, ternyata belum ada upaya mitigasi bencana longsor yang memadai untuk melindungi warga,” kata mahasiswa teladan bidang akademik peringkat I se-UGM tahun 1997 ini.
Faisal lalu menempuh program S-2 di UGM dan S-3 di Tokyo University of Agriculture and Technology, Jepang. Ia mengambil topik riset tentang tanah longsor, terutama yang berkaitan dengan model matematika prediksi bencana longsor. Tekadnya berkiprah dalam mitigasi bencana semakin besar tatkala gempa dan tsunami dahsyat melanda tanah kelahirannya, Aceh.
“Ketika terjadi gempa dan tsunami di Aceh akhir tahun 2004, saya sedang studi S-3 di Jepang. Ini dilema yang berat bagi saya karena keluarga dan sanak saudara menjadi korban bencana tepat ketika saya sedang belajar tentang bencana. Kejadian ini mengubah pandangan hidup saya, memacu semangat dan motivasi untuk berkarya di bidang mitigasi bencana,” kata lulusan angkatan pertama SMA Taruna Nusantara, Magelang, tahun 1993 ini.
Selain motivasi diri sendiri, Faisal juga mendapat dukungan koleganya untuk mengembangkan mitigasi bencana. Profesor Dwikorita Karnawati dari Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM yang mendorong dia dengan menyampaikan kekhawatiran tentang ketergantungan Indonesia pada alat-alat pemantau longsor dari luar negeri. Harga alatnya pun mahal. Lebih repot lagi jika alat tersebut rusak karena harus dikirim ke pabrik pembuatnya di luar negeri.
Koleganya di UGM berharap Fasial dapat mengembangkan alat pemantau dan peringatan dini bencana longsor yang inovatif, berbiaya murah, akurat, mudah dioperasikan dan dirawat, memanfaatkan sumber daya lokal, serta memiliki fungsi yang selevel dengan alat produk asing.
“Sepulang dari Jepang, sekitar tahun 2005 saya mulai merancang alat itu,” kata Ketua World Centre of Excellence (WCoE) on Landslide Risk Reduction ini.
Dari inovasi yang telah dia hasilkan, Faisal (sebagai inventor pertama) dan Dwikorita telah mendaftarkan lima paten alat deteksi dini longsor, yakni alat pemantau gerakan longsor manual dan otomatis, upperground dan underground extensometer, serta tiltmeter.
Extensometer, misalnya, berfungsi mendeteksi jarak keretakan atau kerenggangan tanah untuk menentukan potensi terjadinya longsor. Jika retakan tanah melebar 2-5 cm, alat akan mengirimkan sinyal sehingga sirene berbunyi hingga radius 500 meter. Ini sebagai peringatan dini agar warga segera melakukan evakuasi.
Extensometer juga mengukur akselerasi keretakan tanah. Jika akselerasinya mencapai level tertentu, sirene akan berbunyi. Potensi longsor juga dideteksi alat tiltmeter yang berfungsi mengukur kemiringan tanah.
Data pemantauan dikirimkan secara nirkabel ke server lapangan. Dengan mengaplikasikan sistem telemetri, data dapat dipantau secara online (real time).
Terbukti andal, sejak tahun 2007 lebih dari 100 unit alat deteksi dini longsor buatan Faisal telah dipasang di berbagai daerah rawan longsor. Pada 2012 sistem ini diaplikasikan di kawasan tambang United Mercury Group (UMG) Myanmar. Tahun ini aat itu juga akan diaplikasikan di delapan lokasi Pertamina Geothermal serta bendungan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
Atas temuan itu, Faisal mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Karyanya telah ditetapkan sebagai salah satu penelitian strategis oleh International Programme on Landslides (IPL-UNESCO) sehingga dia menerima IPL Award of Success dari lembaga tersebut.
Dinilai telah banyak berkontribusi dalam kegiatan mitigasi bencana di kawasan Asia, Faisal juga mendapat Excellent Research Award dan Award of Appreciation dari International Symposium on Mitigation of Geo-Disasters di Kyoto-Matsue pada Oktober 2012.
Pada 8 Juli 2013, atas karya dan dedikasinya tersebut, Faisal juga ditetapkan sebagai Juara I Dosen Berprestasi Tingkat Nasional 2013 dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dikutip dari KOMPAS, SELASA, 16 JULI 2013

Siapa yang tidak bangga memiliki kawan seperti Dr. Faisal Fathani? Silakan baca ulasan di Posmetro berikut ini:

BERKAT alat pengintai longsor Gama EWS ciptaannya, Teuku Faisal Fathani PhD dinobatkan sebagai dosen berprestasi tingkat nasional 2013. Karya dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM itu terbukti telah menyelamatkan banyak warga dalam berbagai kasus bencana alam.
=====================
BAHANA, Jogja
————————————
Teuku Faisal Fathani tidak bisa menyembunyikan perasaan bangganya dikukuhkan sebagai dosen berprestasi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Maklum, untuk meraih prestasi itu, dia harus bersaing dengan ribuan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Pemilihan pendidik dan tenaga kependidikan perguruan tinggi berprestasi tingkat nasional itu dilaksanakan di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, 5″8 Juli lalu.

Teuku_Faisal


Sebagai pengajar, Faisal dinilai telah menyumbangkan ilmunya secara nyata kepada masyarakat luas. Bahkan, karyanya tidak hanya berguna di dalam negeri. Beberapa negara telah memanfaatkan alat pengintai longsor Gama EWS tersebut untuk mengantisipasi bencana secara dini.
Gama EWS mampu menyelamatkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor setelah memberikan peringatan sebelum terjadinya bencana. Cara kerja alat itu sederhana. Yakni, mendeteksi jarak keretakan tanah untuk menentukan potensi terjadinya longsor. Bila dalam kondisi bahaya, alat akan mengirimkan sinyal, sehingga sirene berbunyi sebagai bentuk peringatan dini. Ketika sirene berbunyi, masyarakat harus waspada dan melakukan evakuasi. Suara sirene terdengar hingga radius 500 meter.

“Karena itu, untuk pengoperasian alat dan perawatannya, kami selalu melibatkan masyarakat,” jelas Faisal kepada Jawa Pos Radar Jogja di Laboratorium Mekanika Tanah, Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu (10/7).

Faisal mendapat lima hak paten dari inovasi pengembangan alat tersebut sejak dibuat pada 2003. Bahkan, sejak 2007, lebih dari 100 unit alat pendeteksi dini longsor itu dipasang di 12 provinsi di Indonesia, bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT), International Consortium on Landslides (ICL-UNESCO), pemerintah daerah, LSM, serta perusahaan pertambangan dan perminyakan.”

Di ruangan yang penuh sesak dengan karya-karya penelitian, Faisal menunjukkan alat karyanya, mulai generasi pertama hingga ketiga. Alat generasi pertama dibuat secara sederhana karena hasil deteksi pergeseran dan pergerakan tanah masih dicatat secara manual.
Berbeda dengan alat generasi kedua dan ketiga, data yang muncul langsung direkam dalam memori dan dikirim secara online via internet. Kendati begitu, kerja alat generasi pertama, kedua, dan ketiga pada prinsipnya hampir sama.”

Prestasi Gama EWS generasi pertama mendapat pengakuan dari dalam maupun luar negeri karena berhasil “menyelamatkan” warga di wilayah bencana. Kala itu, sekitar November 2007, alat yang awalnya bernama ekstensometer tersebut menyelamatkan 30 warga di Banjarnegara, Jawa Tengah.

Faisal menceritakan, di daerah rawan longsor tersebut, alat karyanya itu dipasang untuk memantau regangan tanah hingga maksimal 5 cm. Ketika hujan lebat turun dan retakan tanah melebar 5 cm, sirene secara otomatis berbunyi nyaring. Mendengar suara sirene tanda bahaya itu, warga cepat-cepat menyelamatkan diri sebelum longsor terjadi. Begitu warga meninggalkan rumah, tanah benar-benar longsor dan menimbun sebagian rumah mereka.

“Masyarakat merasa terselamatkan oleh alat tersebut. Karena itu, begitu alat ditemukan kembali dari timbunan tanah, mereka menyimpannya. Mereka menganggap alat tersebut telah menyelamatkan nyawa mereka,” tuturnya.

Penerapan sistem peringatan dini, terang Faisal, dilakukan selaras dengan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan bencana. Karena itu, sebelum alat tersebut dipasang di suatu lokasi, diperlukan kajian lintas sektoral yang melibatkan pakar pedesaan, geolog, dan psikolog.

“Yang dibangun konsesus, apakah masyarakat siap bekerja sama untuk penanganan longsor atau tidak. Jika masyarakat siap, alat ini akan dimodifikasi dan disiapkan,” terangnya.

Untuk menerapkan alat tersebut di daerah rawan longsor, diperlukan organisasi siap bencana di setiap desa. Karena itu, diperlukan orang-orang kunci untuk memberikan pemahaman kepada warga lain. Setidaknya, diperlukan lima hingga enam orang kunci.
Menurut Faisal, biasanya diperlukan waktu sebulan untuk mengaplikasikan alat di suatu wilayah. Sebab, tim harus mengobservasi lokasi lebih dulu selama seminggu. Selain itu, diperlukan waktu untuk memodifikasi ekstensometer sesuai dengan area yang rawan longsor.

Misalnya, yang diterapkan di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, tim harus berkomunikasi dengan bahasa Madura untuk meyakinkan warga bahwa alat tersebut sangat vital untuk mengidentifikasi bencana sejak dini. Pendekatan itu sangat penting karena terkait dengan perhatian dalam menjaga dan merawat alat.

Lain halnya dengan masyarakat di Karanganyar, Jawa Tengah, yang telah memahami pentingnya alat tersebut. Karena itu, mereka rela patungan Rp 1.000 per bulan sebagai biaya perawatan alat. Hasil patungan tersebut dibelikan aki kering untuk mengganti aki lama yang mati dalam tiga tahun.

Berkat “kecanggihan” alat itu, berbagai institusi dari negara lain memberikan apresiasi positif. Pada 2009, misalnya, karya unggulan tersebut ditetapkan sebagai salah satu penelitian strategis oleh International Program on Landslides (IPL-UNESCO) sebagai model Best Practice in Education for Sustainable Development with Respect to Disaster Risk Reduction Program.

Lalu, pada pembukaan 2nd World Landslide Forum di Roma, Italia, 3 Oktober 2011, Gama EWS terpilih sebagai peraih IPL Award for Success dari IPL-UNESCO. Begitu pula saat 10th International Symposium on Mitigation of Geo-Disasters di Kyoto-Matsue, Jepang, 8 Oktober 2012, Faisal menerima Excellent Research Award dan Award of Appreciation karena dinilai telah banyak berkontribusi dalam kegiatan mitigasi bencana alam di kawasan Asia.

Pada 2012, Gama EWS, antara lain, diaplikasikan di kawasan tambang di United Mercury Group (UMG), Myanmar, serta daerah rawan longsor di Vietnam.
“Tahun ini Gama EWS akan diaplikasikan di delapan lokasi geotermal Pertamina serta dua bendungan di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi,” jelas pria kelahiran Banda Aceh, 26 Mei 1975, tersebut.
“Dari alat deteksi longsor ini pula saya menginisiasi dan terlibat aktif dalam kegiatan manajemen risiko berbagai bencana yang meliputi tanah longsor, banjir, aliran lahar, letusan gunung api, gempa, dan kekeringan di berbagai daerah,” ungkapnya.

Sumber: https://tnsatu.wordpress.com/2013/09/07/faisal-fathani-dosen-teladan-2013/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *