Secuil Kisah tentang Luluk

Sudah lama saya ingin menulis tentang Luluk. Kawan seangkatan di SMA. Orang Lombok. Ketika mendengar namanya, sekilas yang berkelebat di kepala saya adalah seorang wanita. Nama Luluk, identik dengan nama seorang wanita. Itulah persepsi yang ada di benak saat pertama kali mengenalnya, pada 1990 lalu. Kalau membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “luluk” bermakna lumpur. Setelah mengenal Luluk kawan SMA ini, barulah saya sadar bahwa nama Luluk itu berkelamin ganda: pria dan wanita… Beda dengan nama saya, Dodi. Jarang sekali wanita memiliki nama ini.

Luluk kawan saya ini seorang pria. Pria sejati. Tulen. Dia seperti kata KBBI, mirip lumpur. Bisa mengalir ke mana saja. Cair. Bergaul ke sana ke mari. Masuk ke kalangan mana pun. Menyatu. Dikenal dengan sangat baik oleh seluruh teman seangkatan, dan diketahui dengan pasti oleh sebagian besar adik kelas. Minimal sampai angkatan ke-7, hehe angkatan pertama masuknya siswi di SMA kami. Bagi kami, kawan seangkatannya, Luluk menjadi simbol pergaulan dan persahabatan. Tak salah jika dalam organisasi internal angkatan, dia menjabat sebagai ketua bidang sinergi.

Beberapa tahun silam, puluhan tahun setelah tak berjumpa secara langsung, saya menyambangi Surabaya untuk urusan pekerjaan. Dalam grup komunikasi angkatan sering muncul kalimat, “Ke Surabaya kalau tak berjumpa Luluk, belum lengkap…” Luluk dan geng Surabayanya memberikan kesan positif bagi siapa pun kawan yang berkunjung ke Surabaya. Selalu ada “penyambutan khas” ala Luluk dan gengnya. Tentu saya tak mau ketinggalan kesan itu.

Sengaja saya sempatkan waktu untuk menemuinya. Bukan di cafe atau di mal, tapi di rumahnya. Meski sudah cukup malam, di atas jam 21, Luluk dengan suara riang gembira menyilakan saya datang. Dan… selama beberapa jam di rumahnya, penuh dengan kesan. Ribuan kata sarat cerita meluncur dari mulut kami berdua. Bernostalgia. Hanya berdua. Suit suiiit… sayang sekali Luluk yang ini berjenis kelamin pria, berjenggot panjang, dan bersuara bass.

Bukan hanya senang menyambut dan dikunjungi, Luluk juga kawan yang paling sering menyambangi kawan seangkatannya di berbagai kota. Minimal dalam hitungan saya. Tempat tinggal boleh saja di Surabaya (Sidoarjo tepatnya), namun langkah kakinya sangat jauh. Suatu hari dia bisa tiba-tiba berada di Yogyakarta, lalu di Jakarta, atau di kota lain. Sering tanpa rencana. Ujug-ujug. Padahal sebagian besar dari kami, harus merencanakan lama untuk pergi ke luar kota. Luluk tidak. Dia beda. Kadang saya bertanya-tanya juga, “Istrinya bagaimana? Keluarganya bagaimana? Pekerjaannya bagaimana?” Deretan pertanyaan yang tak pernah ditanyakan langsung kepadanya. Sungkan… Dia sering datang ke kota-kota di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau pulau lain bahkan sampai ke luar negeri, menyambangi kawannya di sana. Jarak, waktu, biaya, seperti bukan masalah buatnya.

Luluk itu dirindukan siapa pun. Bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya. Grup angkatan kami (WA atau telegram), tak seru tanpa kehadirannya. Nyaris setiap hari… eh setiap waktu, Luluk muncul. Ada saja idenya. Celotehnya. Dan, mampu memancing kawan yang lain untuk ikut berkomentar. Grup komunikasi itu menjadi selalu ramai dan seru. Hanya satu kawan yang mampu sedikit menyamai prestasi Luluk dalam ber-WA atau telegram. Iwan namanya. Sama-sama berdomisili di Surabaya. Padahal dia orang Ambon. Mereka berdua selalu online di grup itu. Kadang hanya berduaan saling melempar kata…  Saya bertanya-tanya lagi, “Istrinya bagaimana? Keluarganya bagaimana? Pekerjaannya bagaimana?” Deretan pertanyaan yang tak pernah saya tanyakan langsung. Sungkan…

Luluk bersama alm Hidayanto BP

Semalam Luluk menangis. Air matanya mengalir deras. Baru kali ini saya melihatnya menangis seradikal itu. Terisak. Sesenggukan. Kata-katanya menghilang. Untung hanya terlihat lewat zoom, si aplikasi populer di masa pandemi Covid-19. Apa yang membuatnya menangis? Kisah tentang kawan-kawan kami yang meninggal lebih dulu. Air matanya menandakan kehilangan yang sangat atas kepergian kawan kami untuk selama-lamanya. Dan Luluk adalah kawan kami yang hampir selalu ada dan hadir mewakili angkatan untuk takziah, atau menemui keluarga kawan yang meninggal. Tak peduli di manapun dan kapan pun. Begitu dapat kabar meninggal, seperti kebiasaannya tanpa rencana keluar kota, dia langsung meluncur ke TKP. Sungguh, kami beruntung punya Luluk.

Dan sekarang, mengakhiri tulisan ini, air mata saya yang mulai mengalir…

Penulis :

Dodi Mawardi , dkk (Bidang Informasi TNSI)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *