Dasuki Herlambang, Anak Tukang Rujak yang Kini Menjabat Kapolres Kuansing
Awan hitam menutupi langit Kota Telukkuantan pada 24 Desember 2016. Tepat pukul 17.00 Wib, puluhan polisi sedang berbaris membentuk leter U di halaman Polsek Kuantan Tengah, Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Kendati mendung, tak seorang pun beranjak dari barisannya.
Mereka tetap berdiri dengan tegap dalam barisan sesuai kesatuannya. Dari Taman Jalur yang berada tepat di depan Mapolsek Kuantan Tengah, sayup-sayup terdengar seseorang dengan tongkat komando di tangan memberi arahan.
45 menit berlalu. Pasukan pun bubar dengan tertib pertanda apel telah selesai.
“Apel pengamanan malam natal, San,” ujar pria yang memberi aba-aba saat apel tadi ketika disambangi GoRiau.com.
Ya, pria itu adalah AKBP Dasuki Herlambang, SIk, MH yang sejak delapan bulan silam menjabat sebagai Kapolres Kuansing.
Dasuki Kecil Dibesarkan dengan ‘Pecel dan Rujak’
Dasuki, begitu ia dipanggil. Pria kelahiran Medan, 10 Desember 1972 ini tak pernah menyangka menjadi seorang Kapolres. “Bahkan, lulus perwira polisi pun saya tak pernah bermimpi,” katanya.
Dasuki merupakan anak ke-7 dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan Jasri – Ani. Seorang dari delapan bersaudara itu lebih dulu menghadap Sang Pencipta. Mereka tinggal di sebuah rumah yang beratapkan daun rumbia dan lantainya hanya tanah. “Tempat tidur saja hanya papan yang disusun, digelar tikar pandan. Bangun tidur, terukir dengan indah anyaman tikar tersebut.”
Jasri, ayah Dasuki hanyalah seorang tukang rujak keliling. Begitu juga dengan ibunya, yang sehari-hari menjual pecel untuk membantu pendapatan keluarga. Dari sinilah, mereka menghidupi lima anak perempuan dan dua anak lelakinya.
Kendati hidup serba kekurangan dan jauh dari sejahtera, orangtua Dasuki selalu mengajarkan anak-anaknya untuk bekerja keras dan pantang menyerah dengan keadaan.
Suatu pagi, ketika Dasuki sudah kelas 5 SD. Ia sudah bangun lebih awal membantu ibunya untuk persiapan jualan pecel. Dasuki mengerjakan apa yang bisa dikerjakannya, seperti menggiling bumbu dan merebus toge. Kadang, ia sudah meraba subuh yang masih buta berjalan ke pasar membeli bahan baku pecel.
“Bahkan saya menimba air di sumur, kemudian dilakukan penyulingan. Sebab, kualitas air saat kemarau di Kampung saya sangat buruk,” katanya.
Tak jarang, rutinitas membantu ibu membuat Dasuki sering telat masuk kelas. Sedikit pun ia tak minder dengan keadaan keluarganya. Malah, kondisi ini yang membuatnya semakin semangat dalam menuntut ilmu.
“Seragam sekolah yang saya pakai merupakan pakaian bekas abang, celananya sudah sobek dan dijahit lagi. Bahkan, tas yang saya gunakan itu berasal dari kerung tepung terigu cap segitiga biru. Apalagi sepatu, aduuhh…” beber Dasuki terbata-bata dan matanya berkaca-kaca mengenang masa lalunya.
Tak tega melihat orangtuanya yang bekerja serabutan, Dasuki yang sudah SMP berpikir untuk Mandiri. Secara sembunyi-sembunyi, ia memburu kepingan-kepingan rupiah. Walau dilarang ibu, ia tetap berjualan di Stadion Teladan Medan. Berbagai Macam benda yang ia jual, termasuk buah durian. Musim libur adalah waktu favorit Dasuki berjualan.
Untuk masuk ke stadion, Dasuki tak pernah membeli tiket. Tapi, ia menyelinap lewat jalan tikus dan tak jarang ia harus memanjat pagar, supaya bisa berjualan.
Alhasil, tanpa sepengatahuan orangtua, ia mampu membiayai sekolahnya. Ia bisa membayar uang SPP dan BP3.
“Ini bukan cerita dongeng, ini kisah hidup saya dan saya tak malu punya orangtua yang sehari-hari jualan rujak dan bakul pecel. Saya bangga dengan mereka, mereka bisa menghidupi kami dan menyekolahkan kami,” tutur Dasuki.
Semua Bermula dari Nonton TV Tetangga
Usai menamatkan pendidikan hingga tingkat SMP di kampung halaman,Dasuki mendapat beasiswa untuk menganyam pendidikan di SMA Taruna Nusantara. Dasuki belum begitu paham, akan jadi dirinya kelak.
Berbekal tekad nan membaja, Dasuki menimba ilmu di Pulau Jawa. Ia tak pernah berpikiran menjadi anggota Polri. Ia hanya ingin menjadi militer yang kemudian diangkat sebagai kepala daerah.
Keinginannya untuk menjadi perwira Akabri muncul dikarenakan seringnya menonton TV tetangga. Ketika itu, setiap pelantikan perwira selalu disiarkan oleh televisi.
“Saya manjat-manjat jendela tetangga, melongok-longok, supaya bisa melihat prosesi pelantikan tersebut. Wah, senang sekali,” kata Dasuki.
Tanpa terasa, tiga tahun berlalu, tepatnya tahun 1993. Ia mencoba peruntungan di Akabri dan ternyata lulus Akpol. “Padahal, keinginan saya adalah masuk Akmil. Biar bisa jadi Kopassus.”
“Dari kecil cita-cita saya ingin menjadi kepala daerah. Untuk jadi kepala daerah, harus masuk militer. Namun takdir berkata lain, saya sempat tak bisa terima ketika dinyatakan lulus di Akpol,” tutur Dasuki.
Dasuki sempat ragu untuk melanjutkan pendidikan di Akpol. Untuk menghapus keraguannya, Dasuki memohon petunjuk kepada Allah melalui salat istiqarah.
“Saya berpikir realistis. Masuk Akpol, sekolah gratis, semua biaya ditanggung pemerintah. Setelah tamat, dapat pangkat dan dapat pekerjaan lagi,” ujar Dasuki.
Sejak 1993 sampai 1996, Dasuki menghabiskan umurnya untuk menuntut ilmu di Akpol. Selesai di Akpol, ia langsung ditugaskan di Timor-timor. Dua tahun enam bulan Dasuki bertugas di sana. Ia pernah menjadi Kapolsek dan dua kali sebagai Kasat Reskrim.
“Kemudian Timor-timor merdeka menjadi Timor Leste dan saya ditarik ke Bali,” ujar Dasuki.
Di Bali, Dasuki menjadi Kapolsek Ubud dan setelah itu menjabat sebagai Kapolsek Bandara Ngurah Rai Bali. Dasuki terus berprestasi dalam karirnya sebagai anggota Polri. Karena itu, ia ditempatkan sebagai perwira pengawasan orang asing Intelijen Polda Bali.
“Selama di Bali, saya pernah menangkap penyelundupan kokain dari Meksiko menuju Australia. Pelaku menyelundupkan kokain menggunakan perahu layar,” kenang Dasuki.
Pada tahun 2002, Dasuki kembali menimba ilmu di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Tamat tahun 2004 dan langsung ditempatkan di Polda Metrojaya sebagai Kapolsek Pancoran. Kemudian, ia ditunjuk sebagai Kasat Reskrim Polrestro Depok, Kanit Trafiking Polda Metro, Densus 88 Anti Teror, Kabag Ops Polrestro Bekasi Kota, Kakorsis SPN Lido dan sebelum Sespim ia menjabat Kasubdit Provos Polda Metrojaya. Setelah Sespim, ia ditempatkan di Kasubdit Krimum Polda Sumbar. Sebelum ke Kuansing, Dasuki menjabat Kasubdit Dirkrimsus Polda Sumbar.
Selain di Indonesia, Dasuki juga pernah mengenyam pendidikan di Jepang pada tahun 2005. Pada tahun 2007, Dasuki belajar FBI Amerika Serikat. Sembari itu, ia menyelesaikan pasca sarjana Virginia University bidang kriminologi.
“Pada tahun 2008, saya ditugaskan ke Newyork untuk mengusut kasus perdagangan senjata api ilegal. Kemudian, 2010 saya dikirim ke Bangkok dan 2011 ke Manila. Itu bukan karena saya hebat, tapi semua atas izin Allah,” ujar Dasuki.
Berkat Doa Orangtua
Kemiskinan tak mampu menghambat orang untuk meraih kesuksesannya. Bahkan, bagi Dasuki, kesulitan ekonomi keluarga menjadi cambuk pelecut semangatnya untuk terus belajar. “Biarlah miskin, asal tak terhina,” begitulah pesan ibunya.
Menurut Dasuki, apa yang dicapai saat ini tak terlepas dari peran orangtua. Pendidikan karakter yang ditanamkan orangtuanya sejak dini begitu terpatri dalam jiwa Dasuki sampai saat ini.
“Ibu selalu berpesan, kalau kamu bekerja dengan otak, maka uang akan datang dengan sendirinya. Tapi, kalau kamu bekerja dengan otot, ketika sakit, uang tak akan datang,” ujar Dasuki. Nasihat itu yang selalu diingat oleh Dasuki.
Bagi Dasuki, orangtua adalah segalanya. Terutama ibu, sebab beliaulah malaikat tak bersayap yang selalu memberikan kasih sayang serta petuah.
“Bagi saya, ibu itu ‘azzimat’. Tak ada yang bisa menggantikan kasih sayang beliau,” ujar Dasuki.
Dasuki mengaku sedih, sebab sebulan jelang dirinya menjabat sebagai Kapolres Kuansing, sang ibu dipanggil Allah SWT. “Mata saya berkaca-kaca saat dilantik oleh Kapolda. Saya teringat ibu yang tak bisa melihat anaknya jadi Kapolres.”
“Sejak saya kecil, ibu selalu mengatakan kalau mau sesuatu, mintalah kepada Allah, Allah punya segalanya,” tambah Dasuki.
Petuah dan nasehat dari ibu semakin terasa sakti bagi Dasuki tatkala dirinya ditugaskan di Timor-timor (Timor Leste). Sebab, sebagai perwira yang baru tentu minim pengalaman apalagi menghadapi gejolak pemisahan diri Timor Leste dari Indonesia.
“Kita jauh dari keluarga, setiap saat selalu dihadapkan dengan berbagai macam kasus. Namanya juga daerah konflik,” ujar Dasuki mengenang masa tugas pertamanya.
Namun ia yakin, segala sesuatu yang dilakukan dengan ikhlas akan mendapatkan hasil yang manis. “Alhamdulillah, selama 2 tahun 6 bulan bertugas di sana, saya aman dan bisa menjalankan tugas yang diberikan negara.”
“Sebagai polisi, kita tak ada mengenai jam kerja. Saya harus siap setiap saat, 24 jam harus siap. Kadang tengah malam, saat kita lepas dinas. Terus ada orang yang minta tolong, tak mungkin kita biarkan. Kita harus siap mengayomi masyarakat,” papar Dasuki.
Dasuki Mendedikasikan Hidup untuk Bangsa dan Agama
Di sela kesibukannya sebagai Kapolres Kuansing, ternyata Dasuki juga gencar dalam berdakwah. Setidaknya, hampir semua desa yang berada di ekstran telah dijelajahinya.
“Masyarakat yang minta saya untuk hadir dan memberikan tausiyah. Orang datang ke ruangan saya, tak mungkin saya nolak,” ujar Dasuki.
Seperti pada Jumat (23/12/2016) malam, Dasuki diminta warga untuk memberikan ceramah agama sempena peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
“Saya sangat senang melakukannya. Sebab, selain bisa menyampaikan ayat-ayat Allah, saya juga berkesempatan menyampaikan agar masyarakat menjauhi paham-paham radikal dan menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Kita sampaikan pesan-pesan moral kepada warga,” papar Dasuki.
Menurut Dasuki, menyampaikan pesan untuk menjaga keutuhan bangsa sangat efektif dari satu mimbar ke mimbar yang lainnya.
“Pulang dari acara seperti itu kadang dinihari dan paginya langsung masuk kantor atau apel. Walau istirahat sedikit, tapi rasanya sangat nikmat,” tutur Dasuki sembari tertawa kecil.
Kini, Dasuki memiliki empat orang anak dari pernikahannya dengan Teti Indrawati Herlambang, yakni Riandika Pratama Herlambang, Ramadhan Khalid Herlambang, Rahmadina Khaliza Herlambang dan Raihana Salsabila Herlambang.***